Gue bergaya di puncak Prau |
“Zack bangun, keretanya sudah sampai?” gue dikejutkan Dewi sembari merapikan selimut yang ia pegang. Gue bangun tergopoh-gopoh sambil menggapai ransel yang gue letakkan di depo atas kepala. Kami duduk berlainan gerbong saat itu. Karena tiket Bandung – Jogja yang kami pesan mengharuskan kami berpisah karena hanya tinggal beberapa kursi lagi. Capek? Tentu saja capek, gue hanya tidur beberapa jam saja sebelum kereta sampai di stasiun Jogja. Berselang beberapa menit, Yogi sudah menunggu kami di tepian jalan untuk melanjutkan perjalanan ke Dieng Wonosobo Jawa Tengah.
Kali ini gue melakukan perjalanan ke Wonosobo guys. Katanya sih pemandangan sunrise di puncak Prau kece abis. Apa lagi pendakian gunung Prau memang cocok buat pemula kayak gue. jadi don't go anyware yah!!! tetap baca cerita gue#halah!!!
Kami sempatkan sarapan saat itu. Menu yang ditawarkan Yogi pun cukup menggugah selera. Soto Mojali. Tampaknya sih seperti biasa saja. Tapi pada saat gue mulai memakannya. Ada sesuatu yang beda dengan soto mojali ini. kerenyes-kerenyes mak nyos. Muenak bangeet guys. Segaaaar!!!
Soto Mojali |
Selesai sarapan, merapikan semua peralatan tenda dan P3K. Akhirnya kami bergerak menuju Wonosobo. Ada dua sepeda motor yang disiapkan Yogi untuk kendaraan kami ke Wonosobo waktu itu. Tentu saja Yogi menawarkan pilihan sepeda motor mana yang akan gue pilih. Karena gue dan Dewi sama-sama belum begitu femiliar dengan jalur perjalanan Jogja - Wonosobo dan sepeda motor berkopling. Dewi gue percayakan agar berboncengan saja bersama Yogi. Sementara gue lebih memilih menggunakan sepeda motor matic.
Singkat cerita, tiga jam sudah perjalanan kami dari Jogja
menuju Wonosobo. Keadaan yang tidak gue duga adalah pada saat kami mulai memasuki
gerbang Dieng terjadi. Kemacetan yang luar biasa memperlambat gerak kami untuk
secepatnya menuju basecamp pendakian. Hal ini membuat kami harus berjam-jam untuk sampai ke dataran
tinggi Dieng. Belom lagi sepeda motor
yang di bawa Yogi mogok di beberapa kilometer sebelum mencapai basecamp. Akhirnya kami memutuskan untuk
berhenti sejenak sambil menunggu mesin sepeda motor yang dikendarai Yogi didinginkan.
Dewi lagi menikmati keindahan Dieng |
Dataran tinggi Dieng ini luar biasa indah guys, udaranya dingin banget. Sesekali gue abadikan untuk berfoto di sini sembari menikmati secangkir kopi panas yang kami pesan di salah satu warung. Tentu saja diiringi doa dalam hati berharap sepeda motor Yogi kembali bisa digunakan setelah mesinnya didinginkan.
Kira-kira satu setengah jam kami menunggu keajaiban terjadi guys. Sepeda motor Yogi dapat digunakan kembali setelah dimatikan dan didinginkan. Tentu saja dengan syarat hanya Yogi saja yang boleh mengendarainya. Barang dan Dewi harus diungsikan. Kali ini giliran gue yang membonceng Dewi menuju basecamp. Meskipun sesekali gue harus berhenti dan mendorong sepeda motor Yogi karena jalan di Dieng berbukit dan berbelok terjal. Luar biasa banget perjuangan gue guys -____-
. . .
Azan Baru saja dikumandangkan, sementara kami baru saja sampai di basecamp Patak Banteng. Patak Banteng ini salah satu basecamp populer untuk mencapai puncak Prau. Sesekali gue menatap wajah Dewi seraya berkomentar “ Masih sanggup Dew? Duh mana nih yang olahraga rutin tiap minggu plus yoga tiap selasa sore ?”. Dewi tau banget kode ini, seperti kejadian biasanya. Dewi hanya tersenyum sambil mengurut-urut lehernya menggunakan minyak angin yang ia bawa.
Suasana basecamp Patak Banteng |
Setelah istirahat kira-kira 2 jam, pendakian ke gunung Prau pun dimulai. Waktu menujukan pukul 8 malam saat itu. Gue sih masih cerita lama, badan capek tapi sok paling semangat banget. Selesai berdoa, gue mulai melangkah menaiki anak tangga diawal pendakian. Oh my god, anak laut naik gunung. Bisik gue dalam hati.
Berselang beberapa meter saja gue melangkah menaiki anak tangga. Kejadian aneh terjadi, gue gak sanggup guys. Keringat gue berceceran seraya bergumam dalam hati ”Duh si Dewi kuat banget guys, kok gak ada yang berhenti ya. Duh” iyess!!! Berselang beberapa waktu gue bergumam dalam hati Dewi mengeluh kecapekan. “Ayo Dew, semangat” teriakan gue dari atas seraya menghela nafas panjang. Duh, drama banget gue!!
Gue berhenti sejenak. Sambil mengintai keadaan sekitar
menggunakan senter. Suhu dingin tiba-tiba panas guys. Keringat gue bececeran ke mana-mana. Kaki gue berat banget
untuk melangkah. Oh my god, gue lupa kalau
gue sedang mendaki gunung Prau menggunakan Safery
shoes kira-kira 2 Kilogram. Sepatu buat seseorang yang bekerja guna
menghidari resiko kecelakaan kerja di perusahaan galangan besar. Duh, Tolol
banget gue -____-
Malam itu yang gue rasakan panjang banget guys. Satu persatu
pos pendakian akhirnya gue lewati. Sesekali kami berhenti untuk memastikan keadan
anggota baik-baik saja. Buat mereka yang terbiasa mendaki gunung. Barangkali
Gunung Prau ini memang tidak ada apa-apanya. Puncak gunung Prau berada di
ketinggian 2565 mdpl di atas permukaan air laut. Tapi buat gue yang pemula.
Pendakian ini benar-benar luar biasa.
Akhirnya pukul sebelas malam kami berhasil menginjakkan kaki
ke puncak Prau. Angin kencang, kabut, udara dingin tentu saja mulai terasa menusuk
tulang. Sesekali gue menggigil kedinginan sembari meniup-niup kedua belah
kepalan tangan. Selesai mendirikan tenda Yogi mulai menyetuh air dan menghidupkan
kompor guna menghangatkan badan. Bocoran dari si Yogi guys. Sunrise di Gunung
Prau ini luar biasa indahnya. Gue dan Dewi seakan tidak mau ketinggalan, selesai
menyedu kopi buatan Yogi akhirnya gue memutuskan buat tidur. Sementara Yogi
masih sibuk mengaduk-aduk mie yang dimasaknya.
Suasana di atas Puncak gunung Prau |